BAHAN AJAR RESENSI CERPEN

Bacalah cerpen berikut !
Buatlah resensi cerpen tersebut untuk sebuah penerbitan surat kabar daerah! Dengan memperhatikan rambu – rambu dan kaidah penulisan resensi yang tepat!

LIPSTIK
Karya : Haryono Soekiran
              
               Semenjak Kang Bejo dilantik menjadi Kadus di Kampung Karangnangka sebulan yang lalu, isterinya mulai menunjukan kelainan. Isterinya menjadi banyak tingkah dan menjadi pergunjingan tetangga dekat. Ternyata tetangga pun mulai menyorot gerak dan tingkah laku isteri Kang Bejo. Wanita itu sudah mulai menuntut baju kebaya dari bahan yang mahal dan tentu sesuai orang kampung, warnanya mencolok dimata.
               ”Kang, sekarang aku harus lain penampilannya,” tutur Parsinah pada saat duduk santai bersama anak di teras rumah.
               ”Maksudmu?”
”Tolong aku dibelikan lipstik.”
”Untuk apa kamu pakai lipstik segala. Toh kamu sudah cantik.”
”Bukan begitu Kang, aku kan sekarang sudah menjadi isteri Kepala Dusun di Desa Karangnangka. Jadi penampilan pun harus menjadi contoh masyarakat sini.”
Kang Bejo diam. Ia mulai menangkap keanehan pada isterinya. Sejak kapan isteriku aneh – eneh begini. Ah, isteriku menjadi asing pikirannya sekarang. Angan Kang Bejo tebang ke langit. Sementara di luar awan putih berarak berganti awan hitam. Awan hitam pekat melekat di jantung Kang Bejo.
”Kok melamun,” sergah Parsinah.
”Ah, enggak.”
”O, ya minggu depan ada undangan rapat dari ketua PKK untuk rapat.”
”Terus?”
”Aku harus sudah memakai lipstick, agar nampak modern.” Parsinah mulai mengutarakan tuntutannya.
Kang Bejo kurang antusias untk menjawab kata – kata Parsinah. Ia sebenarnya bergembira mendapat anugrah Tuhan menjadi Kadus. Tapi kegembiraan itu mulai terganggu ketika isterinya mulai bersikap aneh.
”Apa mesti pakai lipstick, Par,” sergah Kang Bejo.
”Ibu – ibu PKK semuanya pasti memakai lipstik, dan pasti mahal – mahal harganya,” tangkis Parsinah agak tersungut-sungut.
Mbok di tunda dulu ……. ”
”Apa kamu tidak malu, punya isteri kampungan?” Parsinah tambah bersemangat menyerang jawaban – jawaban suaminya.
”Jika aku malu punya isteri macam kamu, tak mungkin kamu dulu saya persunting menjadi isteri.”
Parsinah menghelah nafas dan tidak langsung meneruskan kata – katanya. Pembicaraan mereka terhenti karena anaknya ikut duduk di samping Parsinah. Suasana kaku, Kang Bejo belum menerima isterinya menggunakan lipstik saat ini sementara Parsinah belum puas atas jawaban suaminya.
Semula Kang Bejo tidak terpikirkan kalau jabatan Kadus menjadikan Parsinah menuntut lipstik agar nampak cantik. Gejolak pertentangan batin Kang Bejo membenturi tembok rumah yang terbuat dari ayaman bamboo. Terbuat dari kayu jati dan berternit ayaman kuit bamboo. Bagi orang kota rumah Kang Bejo adalah pemandangan yang menarik.
Rapat Ibi – ibu PKK Desa Karangnangka dipimpin oleh Ibu Kepala Desa. Suasana kekeluargaan terpancar jelas. Mereka bercerita tentang panen yang sebentar lagi akan tiba. Atau menceritakan anak – anak mereka yang sudah mulai besar dan akan melanjutkan sekolah ke kota. Kebetulan Parsinah ditunjuk oleh ketua PKK sebagai sekretaris.
Pertama kali mendengar tunjukan itu, parsinah agak bingung dan grogi, mengingat pengalaman belum banyak disbanding ibu – ibu PKK lain. Tapi berangsur – angsur Parsinah bisa menempatkan diri dan menyesuaikan suasana.
Jabatan sekretaris PKK sudah selayaknya diterima Parsinah mengingat suaminya adalah Kadus. Tanpa sadar Parsinah memperhatikan seluruh ibu – ibu PKK dari cara bicara sampai cara mereka mengenakan pakaian. Rasa rendah diri hadir sering mengganggunya walau seketika itu Parsinah mengusirnya.
Lama – kelamaan mata Parsinah tertuju pada bibir ibu – ibu PKK.
Astaga. Mereka ternyata sudah bergincu semua. Lipstick mereka pasti harganya mahal.
”Apa aku sanggup membelinya?”bisik Parsinah. Hati Parsinah semakin rebut dengan pemikirannya sendiri melihat penampilan bibir – bibir itu.
Matahari sudah mulai rebah kepayahan di ufuk barat. Lampu – lampu di kampong Karangnangka mulai menyala. Kampung itu belum ada listrik sehingga lampu dari minyak tanah dan petromak menjadi pemandangan rutin.
Jangkrik bersaut-sautan seirama kunang – kunang  bersliweran kian kemari. Hiburan alam di kampung selain musik alam adalah bunyi radio.
Hampir semua rumah di Kampung Karangnangka membunyikan radio bila malam tiba. Siaran gending Jawa adalah acara yang banyak diminati penduduk.
Seperti halnya keluarga Kang Bejo, malam itu suara gamelan sayup – sayup mengalun dari radionya. Di depannya ada segelas kopi kental campur gula jawa. Nikmat sekali nampaknya.
”Kang, kapan sawah kita bisa dipanen? ”
”Ya seminggu lagi barangkali.” Kang Bejo menjawab seraya membetulkan kain saung sambil menghirup kopi kentalnya.
”Akan kita jual, atau akan kita simpan padi nanti, Kang.”
”Maksudnya?” sela Kang Bejo.
”Padi itu kalau sudah panen untuk apa?”
”Ya untuk makan keluarga kita.”
”Dimakan semua? Kan ada sisanya?” lanjut Parsinah
”Sisanya bisa untuk membeli bahan atau pupuk buat persiapan menanam padi selanjutnya.” Kang Bejo berusaha menjelaskan.
”Apa boleh aku punya usul, Kang,” Parsinah mulai menuju sasaran.
”Usul apa ….” Kang Bejo mulai datar menjawab pertanyaan Parsinah.
”Belikan lipstik biar aku tak malu bila ada pertemuan. Aku lihat di pertemuan dulu, para ibu – ibu sudah menggunakan lipstik semua. Dan pasti lipstiknya mahal – mahal. Apa kamu tidak malu isterimu tidak memakai lipstik?” kata-kata Parsinah meluncur tidak terbendung.
Kang Bejo terkesiap. Diam. Kangen dan sejuta pikiran membadai di otak.
”O, jadi itu arah pembicaraanmu?!” Kang Bejo inginmenjerit. Tapi  tak bisa mengeluarkan kata-kata itu karena sudah menjadi consensus bahwa keluarganya tidak boleh bertengkar dihadapan anak.
Tapi rupa – rupanya bibit pertengkaran it uterus hinggap di otak Kang Bejo. Ia bingung dan takut.
Kang Bejjo gelisah. Ia biarkan kegelisahan itu menggelandang hatinya. Suara gending Jawa di radio tak mampu meredakan suasana hatinya. Suara itu justru mencabik – cabik dan memekakkan telinganya.
Di teras, laki – laki itu masih dengan pikirannya sendiri. Parsinah isteriku sudah mulai berubah. Lipstik ternyata kebutuhan yang tak bisa ditundanya. Kang Bejo masih diam di kursi. Matanya menatap kosong.

Dikutip dari : Suara Merdeka

Comments (0)